Jakarta, detiklinenews.com - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) prihatin atas munculnya berbagai pemberitaan tentang perundungan di satuan pendidikan.
Pada Januari-Februari 2023 saja tercatat ada 6 kasus tindak kekerasan berupa perundungan atau kekerasan fisik dan bully yang terjadi di satuan pendidikan.
Sedangkan kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan selama Januari-Februari, FSGI mencatat ada 14 kasus yang semuanya sedang berproses di Kepolisian.
Dari catatan FSGI, kasus perundungan pada Januari-Februari 2023 terjadi di jenjang pendidikan SD ada 1 kasus, Madrasah Tsanwiyah (MTs) tercatat 1 kasus, Pondok Pesantren ada 1 kasus, dan terbanyak terjadi di jenjang SMK sebanyak 3 kasus.
Adapun kasusnya yaitu:
- Santri (13 thn) yang dibakar santri senior di Kabupaten Pasuruan
- Kepala Madrasah di Gresik menampar 15 anak karena jajan diluar kantin sekolah
- Siswa membawa parang ke sekolah di Samarinda karena marah kepada guru olahraganya
- Guru di Garut menampar siswa yang kedapatan merokok dan menyuruh anak lain di kelas tersebut menghukum siswa perokok tersebut
- Siswa SD (11 th) bunuh diri diduga karena dibully tidak memiliki ayah di kabupaten Banyuwangi
"Seharusnya para guru membangun empati dan simpati pada peserta didik terhadap sesama peserta didik lain yang sedang berduka karena kehilangan ayahnya, bukan malah dibully. Bahkan lebih aneh lagi, sekolah mengaku tidak pernah tahu bahwa MR di bully teman-teman sekolahnya," urai Heru Purnomo, Sekjen FSGI.
Lokasi dan Jenjang Pendidikan Terjadinya Kasus Perundungan di Satuan Pendidikan
FSGI mencatat, berdasarkan lokasi kejadian Perundungan di Satuan Pendidikan terjadi di 3 Provinsi yang meliputi 6 kota/kabupaten.
"Di Provinsi Jawa Timur kasusnya terjadi Kabupaten Gresik, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Banyuwangi. Pada Provinsi Jawa Barat kasusnya terjadi di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Garut. Sedangkan untuk Provinsi Kalimantan Timur kasusnya terjadi di Kota Samarinda," ungkap Heru.
Heru menambahkan, jika menurut jenjang pendidikan, maka FSGI menemukan bahwa kasus tertinggi terjadi di SMK yaitu 3 kasus atau 50% dari total kasus, sedangkan di MTs, di Pondok pesantren dan di SD masing-masing ada 1 kasus perundungan di lingkungan pendidikan.
Dari 6 Kasus tersebut 33,33% terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama dan 66,67% terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan KemendikbudRistek.
FSGI Kecam Guru Tampar Siswa Dan Nyuruh Siswa Lain Juga Menampar
Viral sebuah video diduga seorang guru perempuan melakukan tindak kekerasan dengan menampar seorang siswa berseragam sekolah dengan menggunakan buku, tampak pelaku melakukan aksinya dengan penuh agresif.
Korban ditampar karena kedapatan merokok di kelas. Setelah memukul, guru pelaku menyuruh anak-anak lain di kelas tersebut melakukan hal yang sama terhadap siswa yang kedapatan merokok tersebut.
Peristiwa tersebut diketahui terjadi di salah satu SMK Swasta di kabupaten Garut, Jawa Barat. Pihak sekolah maupun kantor cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat wilayah XI mengakui kejadian tersebut dan menyampaikan bahwa antara anak korban dan guru pelaku sudah dimediasi dan di selesaikan secara kekeluargaan.
Meski sudah saling memafkan, namun seharusnya tindakan kekerasan guru tersebut harus diberi sanksi agar ada efek jera, karena yang bersangkutan melakukan tindak kekerasan terhadap anak dan menyuruh anak-anak lain di kelas tersebut untuk juga melakukan tindak kekerasan.
"Hal ini sangat berbahaya bagi tumbuh kembang anak, baik yang dipukul maupun yang memukul karena disuruh gurunya. Kekerasan seharusnya tidak boleh dilakukan di pendidikan dengan dalih mendisplinkan sekalipun," ujar Retno.
Dalam pasal 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya melakukan, akan tetapi membiarkan, menyuruh melakukan dan ikut serta melakukan termasuk tindak pidana terhadap anak.
Guru pelaku ini, memenuhi unsur melakukan dan menyuruh melakukan, yang disuruh melakukan masih usia anak. Jumlah siswa yang disuruh melakukan juga banyak.
Pihak sekolah dalam penjelasannya menyatakan bahwa ada kesepakatan antara si guru dengan peserta didik yang diajar, bahwa jika ada siswa melanggar aturan sekolah maka jika baru 1 kali di tegur, bila sudah 2x di beri surat peringatan dan jika sudah kali ketiga maka bisa dilakukan kekerasan dan siswa lain juga akan menghukum siswa yang melanggar aturan tersebut dengan kekerasan pula.
Padahal, pelanggaran tata tertib sekolah seharusnya ditangani manajemen sekolah melalui bidang kesiswaan, bukan masing-masing pendidik di sekolah membuat hukum sendiri dan mengesekusi sendiri.
"FSGI mendorong Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat untuk menindak sekolah yang membiarkan kekerasan terjadi dan bahkan membebaskan guru membuat aturan sendiri yang bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya. Sekolah jelas melanggar pasal 54 UU Perlindungan Anak," tegas Retno.
Retno menambahkan, perbuatan si guru telah mengakibatkan peserta didiknya yang notabene masih usia anak telah menjadi korban, saksi sekaligus pelaku tindak kekerasan, apa yang dilakukan si guru akan membangun budaya kekerasan di kalangan peserta didik.
Padahal, KemendikbudRistek sedang berupaya menghapus 3 dosa besar di pendidikan yang salah satunya adalah tindak perundungan.
"Tindakan si guru nyata tidak mendukung keberhasilan program pemerintah pusat, dimana KemendikbudRistek sedang gencar-gencarnya menghapus kekerasan di pendidikan melalui Pokja Pencegahan dan Penanganan 3 Dosa besar di pendidikan”, ujar Retno, yang juga kerap bersinergi dengan tim Itjen KemendikbudRistek dalam penanganan kasus-kasus 3 Dosa Besar di Pendidikan.
Guru yang menampar peserta didik dan menyuruh peserta didik lain ikut melakukan, perbuatan ini sangat ditentang dan meresahkan para orang tua,sehingga masuk dalam kategori perbuatan kriminal.
“Apabila dampak dari perbuatan guru menimbulkan kerugian bagi korban, menyebabkan anak tersiksa dan sengsara yang terukur dari ada kerusakan fisik dan psikis melalui rekomendasi dan keterangan ahli maka FSGI mendorong penegak hukum, memproses hukum pelaku menggunakan pasal 80 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 35 Tahun 2014 dengan ancaman hukuman pidana 3 tahun 6 bulan penjara dan/atau denda Rp 72 .000.000,00 ( tujuh puluh dua juta rupiah )”, pungkas Guntur Ismail, Ketua Tim Kajian Hukum FSGI.
Heru Purnomo (Sekjen FSGI)
Guntur Ismail (Ketua Tim Kajian Hukum FSGI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar